Monday, 20 January 2014

Pelajaran dari Ibu

Lia, begitu dia sering disapa. Seorang anak manja yang duduk dibangku kelas IX. Dia memiliki seorang kakak perempuan bernama Ina yang usianya terpaut jauh darinya.
“Kaaak… baju Lia yang warna merah manaa…?” teriakan Melia menggema. Kak Ina segera datang. “Yang warna merah kan dicuci, dek.”
“Lho, kok  dicuci? Lia mau pakai baju itu ke pesta ultah Dita nanti sore!” kata Lia dengan nada kesal.
“Kan, kemarin kamu yang yang menyuruh ibu mencucinya!”
Lia diam, lalu buru-buru mengganti bajunya dengan gaun ungu. Dia baru ingat, kemarin dia memang menyuruh ibu mencuci baju warna merahnya.
Lia keluar kamar meninggalkan kekacauan yang dibuatnya. “Tolong, nanti bereskan lagi ya, kak!” pintanya santai. Kak Ina mendesah sambil geleng kepala melihat baju-baju yang berserakan dimana-mana.
                Lia sebenarnya cantik dan cerdas. Dia juga termasuk murid berprestasi di sekolah. Sayangnya, di rumah dia suka seenak sendiri. Kamarnya selalu berantakan dan dia punya kebiasaan gonta-ganti baju sesukanya.
                Berkali-kali, ibunya selalu menegur anak bungsunya itu. “Lia, bereskan sendiri dong, kamarnya!” begitu selalu pinta ibunya.
                Namun, percuma. Kata- kata ibunya itu cuma masuk telinga kiri dan keluar telinga kanan. Lia selalu mengulangi kebiasaan buruknya itu.
                Saat Lia sedang membaca novel di ruang tengah, ibunya keluar dari kamar. Badan ibunya terbalut sweater tebal.
                “Ibu sudah bangun? Kata kak Ina, Ibu lagi nggak enak badan?” tanya Lia penuh perhatian.
                Ibunya mengangguk pelan. “Tadi Ibu mendengar kamu ribut sama Kak Ina. Urusan baju lagi?” tanya ibunya pelan.
                Lia  cuma nyengir, lalu buru-buru pamitan. “Bu, Lia pergi dulu ya, nanti Ayu ngambek,” ucap Lia sambil mencium tangan ibunya.
                “Hati-hati, ya! Salam buat mamanya Ayu,” pesan ibunya. Rumah Lia dan Ayu tidak terlalu jauh. Mereka akan berangkat ke acara ultah Dita bersama.

****
                Sepulang sekolah, wajah Lia berseri-seri. Maklum, tadi pas istirahat akhirnya dia bisa ngobrol dengan Rito, lelaki yang telah lama ditaksirnya.
                Seperti biasa, setiap pulang sekolah, Lia berteriak memanggil ibu. “Buuu! Buuuu!” teriaknya. “Duh, kemana sih, ibu? Ah, pasti lagi keasyikan memasak sambil mendengarkan radio dangdut!” ucap Lia sambil melangkah ke dapur.
    “Buuu… Buuu!” teriak Lia lagi setelah dia tidak menemukan ibu di dapur.
Ibunya keluar dari kamar dengan wajah lesu.
“Lho, ibu kok sepertinya lemas sekali?” tanya Melia sambil mencium tangan dan pipi ibunya.
“Kepala Ibu masih pusing,” sahut ibunya, lalu merebahkan badannya di sofa ruang tengah.
Setelah meneguk segelas air, Lia beranjak ke kamar.
“Ya ampun! Kak Ina ngapain aja sih seharian ini? Kok, kamar dan lemariku masih berantakan begini!” teriak Lia begitu membuka pintu kamarnya.
Ibunya meringis mendengar teriakan anak tersayangnya itu.
Lia keluar kamar dengan wajah cemberut. Kepalanya pusing melihat kamar dan lemarinya berantakan. Tadi pagi, dia memang membongkar seisi kamar karena mencari buku perpustakaan yang terselip. Dan sebelum berangkat, Lia sudah berpesan kepada Kak Ina untuk membereskan kamarnya. Eh… pulang sekolah ternyata keadaannya masih sama, berantakan!
“Tadi siang, Kak Ina minta izin ke rumah Tante Susan di Bandung untuk berlibur. Ya sudah, ibu menyuruhnya buru-buru pergi supaya tidak kemalaman. Ia tidak sempat membereskan rumah,” jelas ibunya sambil memijit-mijit pelipisnya sendiri.
“Jadi, Lia mesti membereskan kamar sendiri, Bu? Lia capek sekali!” keluhnya.
“Kak Ina juga tidak sempat mencuci baju,” ucap ibunya.
“Haa…? Berarti seragam Lia juga belum dicuci? Terus, besok-besok Lia ke sekolah pakai apa, Bu?” tanya Lia nyaris menangis.
Lia membayangkan, membereskan kamar saja sudah bikin capek, ditambah lagi mencuci dan membereskan rumah. Padahal, nanti sore dia juga akan main ke rumah Ayu. Wah, bisa-bisa batal rencananya!
“Kamu cuci sendiri ya, sayang. Ibu masih lemas, nggak kuat. Tapi, jangan pakai mesin cuci, karena nanti seragammu rusak,” sahut ibunya pelan. “Sekarang, kamu makan dulu sana, tadi nenek membawakan semur daging kesukaanmu. Lumayan, untuk menambah tenaga,” tambah ibunya sedikit bercanda.
Lia tidak tertawa. Dia masih kesal sama Kak Ina yang telah merusak rencananya.
Habis makan siang, Lia membereskan kamar. Saat baru mau istirahat, ibunya menunjukkan seragam dan kaus kaki untuk dicuci. Tidak banyak, hanya dua pasang baju dan rok. Lalu, ibunya mengajaknya ke belakang, ke tempat cuci, untuk mengajarinya cara mencuci pakaian. Wajar, ini pengalaman pertama Lia mencuci. Selesai mencuci, ibunya juga mengajari cara menjemur.
Diam-diam Lia mengusap matanya. Dari rasa kesal, tiba-tiba ia jadi ingat ibu. Ternyata, selama ini pekerjaan ibu sangat banyak dan melelahkan.
Pukul setengah empat, Lia baru masuk kamar. Dia tidak tidur siang dan belum mengerjakan PR. Wah, dia harus menelepon Ayu karena dia batal ke rumahnya.
“Capek ya, sayang?” tanya ibunya pelan, lalu duduk di sebelah Lia.
Lia mengangguk. “Ternyata, pekerjaan ibu melelahkan ya, Bu. Lia menyesal selalu merepotkan ibu dan Kak Ina, tiap hari mesti membereskan kamar Lia.
Ibunya mengangguk lega, lalu mendekap kepala Lia ke dadanya.
“Lia mau minta maaf sama Ibu dan Kak Ina,” ucap Lia pelan sambil menyeka air matanya.
“Permintaan maaf di terima, sayang,” ibu memeluk Lia erat.
Tiba-tiba Kak Ina mucul. Senyumnya merekah. Lia hampir tersedak karena kaget.
“Lho, Kak Ina? Katanya ke Bandung?” tanya Lia bingung.
“Maafkan ibu ya, sayang. Kami sengaja mengatur semua ini. Ibu menyuruh Kak Ina ke rumah nenek, karena ibu ingin kamu mengerti betapa capeknya Ibu dan Kak Ina,” jelas ibunya.
Ugh… Lia ingin marah karena merasa dikerjai. Tapi, dia juga berpikir, kalau ibu kecapekan terus sakit, dia juga yang akan sedih. 
“Terima kasih ya, Bu!” Lia memeluk ibunya erat-erat, lalu memeluk Kak Ina. “Kak, maafin Lia, ya! Lia janji nggak akan bikin berantakan  kamar lagi, asal ibu tidak sakit dan Kak Ina tidak pergi lagi!” katanya. Kak Ina mengangguk terharu.
               


No comments:

Post a Comment