Lia, begitu dia sering disapa. Seorang anak
manja yang duduk dibangku kelas IX. Dia memiliki seorang kakak perempuan
bernama Ina yang usianya terpaut jauh darinya.
“Kaaak… baju Lia yang warna merah manaa…?”
teriakan Melia menggema. Kak Ina segera datang. “Yang warna merah kan dicuci,
dek.”
“Lho, kok
dicuci? Lia mau pakai baju itu ke pesta ultah Dita nanti sore!” kata Lia
dengan nada kesal.
“Kan, kemarin kamu yang yang menyuruh ibu
mencucinya!”
Lia diam, lalu buru-buru mengganti bajunya
dengan gaun ungu. Dia baru ingat, kemarin dia memang menyuruh ibu mencuci baju
warna merahnya.
Lia keluar kamar meninggalkan kekacauan yang
dibuatnya. “Tolong, nanti bereskan lagi ya, kak!” pintanya santai. Kak Ina mendesah
sambil geleng kepala melihat baju-baju yang berserakan dimana-mana.
Lia sebenarnya
cantik dan cerdas. Dia juga termasuk murid berprestasi di sekolah. Sayangnya,
di rumah dia suka seenak sendiri. Kamarnya selalu berantakan dan dia punya
kebiasaan gonta-ganti baju sesukanya.
Berkali-kali,
ibunya selalu menegur anak bungsunya itu. “Lia, bereskan sendiri dong,
kamarnya!” begitu selalu pinta ibunya.
Namun, percuma.
Kata- kata ibunya itu cuma masuk telinga kiri dan keluar telinga kanan. Lia
selalu mengulangi kebiasaan buruknya itu.
Saat Lia sedang
membaca novel di ruang tengah, ibunya keluar dari kamar. Badan ibunya terbalut
sweater tebal.
“Ibu sudah bangun?
Kata kak Ina, Ibu lagi nggak enak badan?” tanya Lia penuh perhatian.
Ibunya mengangguk
pelan. “Tadi Ibu mendengar kamu ribut sama Kak Ina. Urusan baju lagi?” tanya
ibunya pelan.
Lia cuma nyengir, lalu buru-buru pamitan. “Bu, Lia
pergi dulu ya, nanti Ayu ngambek,” ucap Lia sambil mencium tangan ibunya.
“Hati-hati, ya!
Salam buat mamanya Ayu,” pesan ibunya. Rumah Lia dan Ayu tidak terlalu jauh.
Mereka akan berangkat ke acara ultah Dita bersama.
****
Sepulang sekolah,
wajah Lia berseri-seri. Maklum, tadi pas istirahat akhirnya dia bisa ngobrol
dengan Rito, lelaki yang telah lama ditaksirnya.
Seperti biasa,
setiap pulang sekolah, Lia berteriak memanggil ibu. “Buuu! Buuuu!” teriaknya.
“Duh, kemana sih, ibu? Ah, pasti lagi keasyikan memasak sambil mendengarkan
radio dangdut!” ucap Lia sambil melangkah ke dapur.
“Buuu… Buuu!” teriak Lia lagi setelah dia tidak menemukan ibu di dapur.
Ibunya keluar dari kamar dengan wajah lesu.
“Lho, ibu kok sepertinya lemas sekali?” tanya
Melia sambil mencium tangan dan pipi ibunya.
“Kepala Ibu masih pusing,” sahut ibunya, lalu
merebahkan badannya di sofa ruang tengah.
Setelah meneguk segelas air, Lia beranjak ke
kamar.
“Ya ampun! Kak Ina ngapain aja sih seharian
ini? Kok, kamar dan lemariku masih berantakan begini!” teriak Lia begitu
membuka pintu kamarnya.
Ibunya meringis mendengar teriakan anak
tersayangnya itu.
Lia keluar kamar dengan wajah cemberut.
Kepalanya pusing melihat kamar dan lemarinya berantakan. Tadi pagi, dia memang
membongkar seisi kamar karena mencari buku perpustakaan yang terselip. Dan
sebelum berangkat, Lia sudah berpesan kepada Kak Ina untuk membereskan
kamarnya. Eh… pulang sekolah ternyata keadaannya masih sama, berantakan!
“Tadi siang, Kak Ina minta izin ke rumah Tante
Susan di Bandung untuk berlibur. Ya sudah, ibu menyuruhnya buru-buru pergi
supaya tidak kemalaman. Ia tidak sempat membereskan rumah,” jelas ibunya sambil
memijit-mijit pelipisnya sendiri.
“Jadi, Lia mesti membereskan kamar sendiri, Bu?
Lia capek sekali!” keluhnya.
“Kak Ina juga tidak sempat mencuci baju,” ucap
ibunya.
“Haa…? Berarti seragam Lia juga belum dicuci?
Terus, besok-besok Lia ke sekolah pakai apa, Bu?” tanya Lia nyaris menangis.
Lia membayangkan, membereskan kamar saja sudah
bikin capek, ditambah lagi mencuci dan membereskan rumah. Padahal, nanti sore
dia juga akan main ke rumah Ayu. Wah, bisa-bisa batal rencananya!
“Kamu cuci sendiri ya, sayang. Ibu masih lemas,
nggak kuat. Tapi, jangan pakai mesin cuci, karena nanti seragammu rusak,” sahut
ibunya pelan. “Sekarang, kamu makan dulu sana, tadi nenek membawakan semur
daging kesukaanmu. Lumayan, untuk menambah tenaga,” tambah ibunya sedikit
bercanda.
Lia tidak tertawa. Dia masih kesal sama Kak Ina
yang telah merusak rencananya.
Habis makan siang, Lia membereskan kamar. Saat
baru mau istirahat, ibunya menunjukkan seragam dan kaus kaki untuk dicuci.
Tidak banyak, hanya dua pasang baju dan rok. Lalu, ibunya mengajaknya ke
belakang, ke tempat cuci, untuk mengajarinya cara mencuci pakaian. Wajar, ini
pengalaman pertama Lia mencuci. Selesai mencuci, ibunya juga mengajari cara
menjemur.
Diam-diam Lia mengusap matanya. Dari rasa
kesal, tiba-tiba ia jadi ingat ibu. Ternyata, selama ini pekerjaan ibu sangat
banyak dan melelahkan.
Pukul setengah empat, Lia baru masuk kamar. Dia
tidak tidur siang dan belum mengerjakan PR. Wah, dia harus menelepon Ayu karena
dia batal ke rumahnya.
“Capek ya, sayang?” tanya ibunya pelan, lalu
duduk di sebelah Lia.
Lia mengangguk. “Ternyata, pekerjaan ibu
melelahkan ya, Bu. Lia menyesal selalu merepotkan ibu dan Kak Ina, tiap hari
mesti membereskan kamar Lia.
Ibunya mengangguk lega, lalu mendekap kepala
Lia ke dadanya.
“Lia mau minta maaf sama Ibu dan Kak Ina,” ucap
Lia pelan sambil menyeka air matanya.
“Permintaan maaf di terima, sayang,” ibu
memeluk Lia erat.
Tiba-tiba Kak Ina mucul. Senyumnya merekah. Lia
hampir tersedak karena kaget.
“Lho, Kak Ina? Katanya ke Bandung?” tanya Lia bingung.
“Maafkan ibu ya, sayang. Kami sengaja mengatur
semua ini. Ibu menyuruh Kak Ina ke rumah nenek, karena ibu ingin kamu mengerti
betapa capeknya Ibu dan Kak Ina,” jelas ibunya.
Ugh… Lia ingin marah karena merasa dikerjai.
Tapi, dia juga berpikir, kalau ibu kecapekan terus sakit, dia juga yang akan
sedih.
“Terima kasih ya, Bu!” Lia memeluk ibunya
erat-erat, lalu memeluk Kak Ina. “Kak, maafin Lia, ya! Lia janji nggak akan
bikin berantakan kamar lagi, asal ibu
tidak sakit dan Kak Ina tidak pergi lagi!” katanya. Kak Ina mengangguk terharu.